diagnosa

Vibriosis pada udang

Nama lain:  bacterial septicaemia [3], systemic vibriosis [3], Seagull syndrome, Sindroma de caviota [5], seagull syndrome, sindroma gaviota, black/brown spot disease [11], Syndrome 93 [13]

Etiologi/ penyebab: Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Vibrio spp dari berbagai spesies seperti Vibrio harveyi, V. alginolyticus, V.parahaemolyticus, V. anguillarum, V. mimicus, V. fluvialis, V. splendidus, V. penaeicida, V. campbellii, V. carchariae, V. cholerae, V. damsela, V. ordalii, and V. vulnificus [4,5]. Merupakan bakteri gram negative motil berbentuk batang [14]. Bakteri ini bersifat oportunistik, dapat bertindak sebagai agek penyakit tunggal maupun infeksi sekunder [12].

Hospes : P. japonicus, P. monodon, P. vannamei [5]

Stadium rentan : juvenil dan hampir seluruh stadium udang [4,5]

Epizootiologi:
Vibriosis dikenal sebagai bakteri yang dapat menginfeksi berbagai spesies laut. Vibriosis dilaporkan terjadi di Jepang, Indo Pasifik, China, Ekuador, Peru, Kolombia, Amerika tengah, Kaledonia baru, Thailand, Filipina, Australia dll [13]. Kematian akibat vibriosis dapat mencapai 80% dalam beberapa hari[2]. Bakteri vibrio secara umum ditemukan di perairan. Bakteri ini dapat menyebar dengan cepat dan menginfeksi Ketika udang mengalami kondisi stress [5]. Bakteri ini dapat mengakibatkan kefatalan apabila menyerang bersamaan kondisi utama seperti penyakit infeksius, gangguan nutrisi, stress lingkungan dan luka [6]. Vibriosis seringkali terjadi sebagai koinfeksi dengan penyakit virus. Vibriosis biasanya terjadi satu bulan pasca tebar [12]. Bakteri ini dengan mudah menular melalui fasilitas budidaya. Bakteri masuk melalui luka atau celah di kutikula atau ikut termakan bersama pakan [13].

Faktor pendukung
Vibrio merupakan bakteri oportunistikyang dapat menimbulkan kematian. Bakteri ini kerap muncul bersamaan dengan penyakit infeksius, penyakit nutrisi, stress lingkungan, luka, dll [1]. Kondisi lingkungan yang memicu kejadian vibriosis antara lain kadar amonia yang tinggi, kadar oksigen rendah, salinitas tinggi, tingginya kepadatan dan suhu air, handling yang kurang sesuai [4,5]. Seluruh kondisi tersebut merupakan kondisi dimana udang mengalami stress sehingga rentan terhadap serangan pathogen [5].

Gejala Klinis
Gejala vibriosis tidaklah spesifik [16]. Udang yang terinfesi oleh vibrio akan mengalami perubahan seperti kemerahan pada kaki-kaki akibat perluasan kromatofor (hal ini tidak akan terlihat pada infeksi vibrio yang terlokalisir), kelainan bentuk otot abdomen (segmen 3-4), tutup insang terbuka dan erosi, usus kosong, pakan yang buruk, dan gejala terberat adalah lepuh kehitaman (melanisasi) pada karapas, insang, abdomen dan organ lainnya [2,3,4,7]. Selain kehitaman, insang juga dapat berwarna merah atau kuning [9]. Udang akan kehilangan nafsu makan dan karapas melunak [5]. Pada permukaan tubuh juga dapat dijumpai organisme fouling [10]. Pada kondisi berat, udang dapat berpendar (luminescence) [4]. Udang akan terlihat lemah dengan abnormalitas cara berenang seperti berada di tepi atau permukaan tambak dan berenang lemah sehingga dengan mudah dimakan oleh burung [3,4,5,14]. Pada vibriosis akut, udang yang mati berjumlah cukup banyak dan tidak akan dikanibal. Sedangkan pada kasus kronis atau yang lebih berat, udang akan dimakan oleh udang yang sehat [11]. Hemolim pada udang dengan vibriosis akan lambat mengental [4].

Perubahan Patologi
Secara histopatologi, lesi vibrio dibagi menjadi tiga antara lain [10,14]:

  1. Vibriosis terlokalisir (luka, shell disease, black spot disease, black splinter disease)
    Perubahan berupa hemosit yang beragregasi dan mengalami melanisasi dengan bakteri di bagian dalam atau di sekitar lesi. Bentuk lesi ini terjadi akibat adanya luka sayatan atau irisan, infeksi sekunder akibat stress  fisik/kimia, abses akibat infeksi parasit, infeksi enteric [10]. Lesi biasanya berupa area berwarna hitam di ekor, insang, tubuh. Warna hitam berasal dari deposit melanin sebagai produk akhir respon keradangan. Beberapa vibrio menghasilkan enzim kitinase yang dapat menghancurkan kutikula [16].
  2. Vibriosis sistemik (seagull syndrome/ sindroma de gaviota).
    Terdapat nodul hemositik melanisasi dan/ non melanisasi dengan pusat sepsis pada organ limfoid, jantung, insang, hemocoel, dan jaringan ikat. Vibriosis tipe ini biasanya disebabkan oleh V. parahaemolyticus dan V. vulnificus/ V. harveyi
  3. Septic Hepatopancreatitis (SHP/Red disease/ tea brown gill syndrome)
    Ditandai dengan atrofi hepatopancreas dengan nekrosis multifocal dan peradangan hemosit pada tubulus proksimal hepatopancreas. Sedangkan tubulus distal hamper tidak terpengaruh. Bakteri akan mudah teramati berbentuk batang berkoloni pada debris jaringan di lumen ataupun pada tubulus yang mengalami peradangan dan nekrosis. Kondisi “red disease” mengindikasikan bahwa udang telah masuk tahap akhir penyakit. Sejumlah laporan menyatakan bahwa SHP berkaitan dengan pemberian pakan yang tengik [10].  Pada tea brown gill syndrome, udang akan berpendar, lalu 3-4 hari kemudian akan mati dengan memperlihatkan gejala insang berwarna coklat. Warna ini muncul berkaitan dengan kualitas air yang buruk[16].

Hepatopankreas yang terinfeksi memiliki vakuola lebih sedikit yang menandakan rendahnya penyimpanan lemak dan glikogen. Di Thailand, vibriosis  dilaporkan mengakibatkan spheroid pada organ lymphoid [13]. Pada tambak dengan kepadatan fitoplankton yang tinggi, vibriosis kronis bisa tidak teramati hingga pemanenan dimana tingkat kelulushidupannya akan terlihat rendah [11].

Gambar. Gejala klinis dan perubahan jaringan akibat
infeksi vibriosis. a) Melanisasi pada karapas dan insang (Lightner, 1996). b)
Infiltrasi leukosit disertai melanisasi (Lightner., 1996). c) Nodul hemositik
pada jaringan (Ramirez et al., 2022). d) Granuloma melanisasi hepatopankreas (Mejias
& Pena-Navvaro, 2016)

Diagnosa banding
Vibriosis tipe SHP sering ditandai dengan tubuh yang memerah. Gambaran ini juga dapat disebabkan oleh infeksi white spot baculovirus syndrome [14].

Metode Diagnosa
Penyakit ini dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi dengan isolasi bakteri [5]. Bakteri vibrio dapat dengan mudah teridentifikasi melalui metode standar mikrobiologi dan histopatologi. Biasanya bakteri didapatkan dari rongga tubuh udang yang hampir mati [2,3]. Media selektif yang umum digunakan untuk identifikasi bakteri Vibrio adalah Thiosulfat Citrate Bile Salts Sucrose Agar(TCBSA). Penggunaan kit API, serologi dan probe gen dengan mudah membantu diagnose terhadap bakteri ini [14]. Pada pengamatan ulas hemolim dapat teramati bakteri berbentuk batang [10].

Pencegahan dan Pengendalian
Kualitas air menjadi kunci utama pada pencegahan vibriosis. Bahan organik yang rendah dan kualitas air yang baik harus selalu dijaga dengan meningkatkan penggantian air [2]. Air sumber harus didisinfeksi misalnya dengan formalin 100-200ppm. Penggunaan tandon dapat membantu mencegah munculnya penyakit ini [10]. Pemantauan total vibrio menjadi sangat penting dimana nilainya tidak boleh melebihi 103CFU/ml [8]. Penggunaan antibiotik sebenarnya tidak dianjurkan dengan alasan keamanan pangan. Jika akan digunakan, oksitetrasiklin selama 10-14 hari dapat menjadi pilihan dengan waktu luruh 25-30 hari [3]. Tambak dapat diberikan sukrosa (20kg/ha) untuk mengurangi biomassa tambak. Penggunaan tanaman herbal seperti daun Neem (umum di India) serta disinfeksi dasar petak dengan pengeringan dan pembuahan sisa bahan organik dan pengapuran cukup efektif mengatasi vibriosis [4]. Apabila kasus sangat berat, maka pemanenan disarankan untuk mengurangi kerugian [4].  Vaksinasi dinilai cukup efektif untuk mencegah vibriosis di pembesaran. Pengelolaan tambak seperti padat tebar 10-20 ekor/m2 telah terbukti efektif mengurangi kerugian akibat vibriosis [11]. Disamping itu, petakan harus dikeringkan dan diberi kapur setelah pemanenan [13]. Pada sebuah studi pengendalian vibrio menemukan bahwa penggunaan ikan nila untuk membuat green water system pada budidaya udang dapat menghambat pertumbuhan bakteri vibrio [15].

Referensi 

  1. Felix, S. 2013. Advances in Shrimp Aquaculture Management. Daya Publishing House: India
  2. Alavandi, S.V., Vijayan, K.K., Rajendran, K.V. 1995. Shrimp Disease, Their Prevention and Control. Central Institute of Brackishwater Aquaculture: Madras
  3. CIBA Training Programme on “Diagnosis and Management of Shrimp Diseases….21st-26th November 2005
  4. Otta, S.K. dan Patil, P.K. 2012. Training Programme On Management Of Emerging Diseases Of Shrimp With Special Reference To Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vanname. Aquatic Animal Health And Environment Division Central Institute Of Brackishwater Aquaculture: Chennai
  5. Otta, S.K., S.V. Alavandi, K.K. Vijayan. Field Guide for Diagnosis, Prevention, and Control of Disease of Shrimp and Finfish in Brackish water Aquaculture. Central Institute of Brackishwater Aquaculture, 38pp
  6. Raj, S.P (ed). Shrimp Farming Techniques, Problems And Solutions. Palani Paramount Publication: Palani
  7. Department of Primary Industries and Fisheries. 2006. Australian Prawn Farming Manual Health Management for Profit. Queensland Complete Printing Services: Australia
  8. Arifin, Z., C. Kokarkin, T.P Priyoutomo. Penerapan Best Management Practices  (Bmp)  Pada Budidaya Udang Windu   Penaeus Monodon Fabricius) Intensif. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau: Jepara
  9. Bryand, D.L., A.L. Kadilak., S.R. Pani. 2006. Good management Practices for Shrimp farming in Costa Rica. nstituto Costarricense de Pesca y Acuicultura: Costa Rica
  10. Manual ASEAN good shrimp farm management practice. ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry. Fisheries Publication Series No 1
  11. Brock, J.A. dan Main, K.L. 1994. A Guide to The Common Problems and Diseases of Cultured Penaeus vannamei. The Oceanic Institute: Honolulu
  12. Browdy, C., J. Hargreaves, T. Hoang, Y. Avnimelech (Ed). 2013. Proceeding Biofloc Technology and Shrimp Disease Workshop. The aquaculture engineering society:USA
  13. Review of pathogens of prawns
  14. Lightner, D.V (Ed). 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures For Diseases of Cultured Penaeid Shrimp. The World Aquaculture Society
  15. Cadiz, R.E., R.F.M. Traifalgar, R.C. Sanares, K.G.S. Andrino-Felarca, V.L. Corre Jr. 2016. Comparative efficacies of tilapia green water and biofloc technology (BFT) in suppressing population growth of green Vibrios and Vibrio parahaemolyticus in the intensive tank culture of Penaeus vannamei. AACL Bioflux 9(2)
  16. 1.    Graindorge, V.A & Flegel,
    T.W. 1999. Diagnosis of shrimp disease with emphasis on the black tiger shrimp
    (Penaeus monodon). FAO: Roma

Most Popular

To Top