Ikan

Scale Drop Disease (SDD)/ Penyakit Sisik Rontok (Updated)

Nama lain

Penyakit sisik rontok [1]

Hospes 

penyakit ini hanya menyerang ikan kakap baik juvenil maupun dewasa,
tidak pada spesies lainnya [1]


Etiologi/ penyebab

Scale Drop Diseae  disebabkan oleh Scale Drop Disease Virus (SDDV). Berdasarkan homolog dari seri
protein yang mengkode, virus ini termasuk anggota genus Megalocytivirus dari family
Iridovirus [2].


Epizootiologi

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh pembudidaya di Malaysia tahun 1992 , lalu gejala serupa ditemukan di Singapura pada tahun 2002, 2006, dan 2009. Penyakit ini baru terdeteksi di Indonesia pada tahun 2011 dan Thailand di tahun 2019 [1,3,5,6]. Di Malaysia dan Indonesia, publikasi ilmiah resmi terkait kejadian SDDV ini baru dirilis di tahun 2020 [6,7]. Kejadian biasanya terdapat pada beberapa keramba yang kemudian menyebar ke keramba lainnya. Tingkat kematian dari penyakit ini mencapai 1-2% per hari selama 3-4 minggu dengan kematian total mencapai 40-50% dari populasi [1]. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi sebab sebagian besar menyerang ikan ukuran konsumsi dan menimbulkan kerusakan pada tampilan ikan [6]

Faktor pendukung

Penyakit ini tampaknya
mengikuti musim: muson selatan-barat/ pergantian antar musim yang dimulai bulan
September dapat memicu timbulnya penyakit ini.


Gejala Klinis


ikan menghitam disertai hilangnya sebagian

sisik pada ikan kakap

(picture credit to Gibson-Kueh, 2012)
Di Singapura, ikan
banyak terjangkit pada usia 3-4 bulan setelah penebaran dalam KJA dengan ukuran
ikan 100-300gram. Pada umumnya ikan tidak mengalami gangguan nafsu makan hanya
saja sisik terlihat rontok. Tubuh ikan menjadi berwarna merah gelap. Ikan
menunjukkan perilaku menyendiri, terpisah dari kelompoknya. Ekor menjadi geripis
dan insang terlihat pucat. [1]. Penyakit ini berlangsung disertai dengan
infestasi parasit monogenea [3].



Perubahan patologi

Secara makroskopis pada
hati terlihat adanya timbunan lemak dan pendarahan di hati. Selain terdapat di
hati, pendarahan juga terdapat di limpa dan ginjal [1]. Pendarahan bertipe
petechiae dan ecchymosae [3]. Ketiga organ ini secara makroskopis menunjukkan
pembesaran [1].



Perubahan histologi
paling mencolok dari kasus SDS adalah peradangan pembuluh darah (vasculitis)
disertai degenerasi, pendarahan, dan nekrosis pada organ-organ utama.  Pada beberapa kasus peradangan pembuluh darah
mempengaruhi suplai darah ke organ-organ utama seperti hati, ginjal, limpa, dan
otak. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab kematian ikan. Pada beberapa
kasus dapat dijumpai thrombus [3]. Pada sisik, perubahan histologi yang terlihat
berupa kerusakan jaringan kulit yang parah disertai penyempitan pembuluh darah
sehingga suplai darah dan oksigen menuju kulit terganggu. Hal ini dapat
menyebabkan sisik di daerah tersebut mudah rontok [1].


Histologi kulit pada ikan dengan Sindrom Sisik Rontok.

Terdapat dermal pervasculitis pada scale bed (panah) (a) Nekrosis scale bed (b)

(Picture credit to Gibson-Kueh, 2012)
Insang mengalami nekrosis epitel. Nekrosis limpa multifokal maupun difus menyatu dengan area infark dan hemoragi. Tubulus dan glomerulus ginjal mengalami nekrosis, sedangkan pembuluh darah jantung dan kelenjar rete chorioid mata mengalami nekrosis. Pada otak terlihat peradangan perivascular yang berkaitan dengan encephalomalacia, neuronophagia dan gliosis. Hati mengalami lobulasi yang berasal dari banyaknya sel yang hilang atau karyolisis, juga dijumpai nekrosis multifokal menciri pada kelenjar gastrium. Nukleus dengan kromatin termarginasi dapat terlihat pada limpa, ginjal, hati, lambung, dan usus. Badan inklusi pada limpa, ginjal, hati, jantung, dan rete chorioid tidak begitu dominan. Badan inklusi bersifat basofilik dengan tampilan hyaline. Bentukan ini sering teramati pada glomerulus yang nekrosis, interstitial ginjal, limpa, dan endothelium jantung. Disamping itu juga dapat terlihat di perivascular, di jantung bentukan ini dapat dibedaan dengan endocardium yang mengalami hipertrofi [3].
Badan Inklusi Basofilik Hyaline pada glomerulus 
(picture Credit to Gibson-Kueh, 2012)


Metode Diagnosa

Diagnosa penyakit ini
dapat dilakukan secara histopatologi, PCR, TEM [3].Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan secara histopatologi, PCR, TEM [3]. Perubahan gejala klinis akan sangat membantu peneguhan diagnosa. Pemeriksaan secara histopatologi tidak selalu dapat menemukan adanya gambaran badan inklusi. Perubahan histopatologi lainnya juga tidak mudah dibedakan dengan infeksi bakterial. Oleh karenanya, pemeriksaan histopatologi hanya dapat berperan sebagai diagnosa presumtif. Pemeriksaan melalui PCR dapat digunakan sebagai diagnosa definitif untuk penyakit ini [5]. Saat ini, telah dikembangkan metode diagnosa SDDV dengan assay kolorimetri berdasarkan loop-mediated isothermal amplification (LAMP) dengan xylenol orange (XO) [8].

Virus ini dapat diisolasi
dan dipropagasi menggunakan sel otak dan ginjal ikan kakap putih. Studi infeksi
buatan virus yang telah dilakukan oleh de Groof et al (2015) menunjukkan bahwa
gejala klinis muncul pada kelompok yang diinjeksikan secara intraperitoneal
(0,1ml atau 5,5 x 106  TCID
50/ikan) dan kombinasi i.p (0,1ml) dan i.m (0,01ml atau ,5 x 10
6
 TCID 50/ikan) dalam 7-14 hari pasca infeksi.
Bahkan pada pemberian secara i.p dapat menimbulkan kematian pada hari ke 5
infeksi. Tingkat kematian dari infeksi buatan ini adalah 60% untuk kelompok i.p
dan 47% untuk kelompo kombinasi i.p dan i.m. injeksi secara i.m saja atau i.p
0,1ml dengan pengeceran 1:10 dengan PBS menunjukkan gejala klinis dan tingkat
kematian yang rendah [2]. Pada studi terbaru, darah, mucus, dan sirip caudal dapat digunakan mendeteksi penyakit ini. Sampel darah lebih disarankan sebab lebih steril dan minim kontaminasi. Parasit Lernanthropus sp. and Diplectanum sp yang terdapat pada ikan kakap dengan infeksi SDS juga dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus ini [4]

Diagnosa Banding

Gejala klinis sisik rontok (scale drop) tidak selalu berkaitan dengan SDDV. Kasus tenacibaculosis oleh T. maritimum dan Scale drop and muscle necrosis disease pada ikan kakap putih Vietnam juga ditandai dengan sisik rontok [5]. 

Pencegahan dan
Pengendalian


Pencegahan dan pengendalian penyakit ini masih dalam tahap riset. Studi de Groof et al (2015) mengindikasikan bahwa virion tetap infeksius setelah treatmen dengan kloroform. De Groof juga melakukan studi menggunakan 3 tipe vaksin: formalin-inactivated virus vaccine, BEI (binary-ethyleneimine)-inactivated virus vaccine, dan rekombinan MCP protein yang diproduksi dalam E.Coli (rec MCP) vaccine. Hasil studi menunjukkan bahwa ketiganya memiliki efikasi perlindungan terhadap SDS. Besarnya perlindungan adalah 74% (formalin inactivated), 70% (BEI inactivated), dan 91% (recMCP). Vaksin menggunakan Aquavac IridoV tidak menunjukkan perlindungan silang [2]. Di Indonesia, publikasi terkait SDDV belum banyak, namun demikian dari publikasi oleh Koesharyani et al (2020) menemukan bahwa kasus SDDV di Batam identik dengan SDDV asal Singapura. Oleh karenanya, untuk menghindari penyebaran SDD di Indonesia, disarankan untuk tidak menggunakan indukan dan benih kakap asal Batam dan Singapura [7].



Referensi

Referensi

1. Sunarto, A. 2013. Waspadai SDS pada Ikan Kakap. Majalah INFHEM
volume 2 no.2 Januari 2013.

2. de Groof A, Lars Guelen, Martin Deijs, Yorick van der Wal, Masato
Miyata, Kah Sing Ng, Lotte van Grinsven, Bartjan Simmelink, Yvonne
Biermann, Luc Grisez, Jan van Lent, Anthony de Ronde, Siow Foong Chang,
Carla Schrier, Lia van der Hoek. 2015. A Novel Virus Causes Scale Drop Disease in Lates calcarifer. PLoS
Pathog 11(8): e1005074. doi:10.1371/journal.ppat.1005074

3. 3. Kueh, S.G., D Chee, J Chen, Y H
Wang, S Tay, L N Leong, M L Ng, J B Jones, P K Nicholls,  H W Ferguson.2011. The pathology of scale drop
syndrome in Asian seabass, Lates calcarifer Bloch, a first description.
Journal of Fish Diseases 2012, 35, 19–27 doi:10.1111/j.1365-2761.2011.01319.

4. Charoenwai, O., S. Senapin, H.T. Dong, M. Sonthi. 2020. Detection of
scale drop disease virus from non-destructive samples and ectoparasites of
Asian sea bass, Lates calcarifer. Journal of fish diseases 00:1–7.

5. Senapin, S., Dong, H. T., Meemetta, W., Gangnonngiw, W., Sangsuriya, P.,
Vanichviriyakit, R., M. Sonthi, Nuangsaeng, B. 2019. Mortality from scale
drop disease in farmed Lates calcarifer in Southeast Asia. Journal of Fish Diseases, 42(1), 119–127.

6. Nurliyana,M., B. Lukman, M.Y. Ina-Salwany, M. Zamry-Saad, S. Annas, H.T.
Dong, C. Rodkhum, M.N.A. Amal. 2020. First evidence of scale drop disease
virus in farmed Asian seabass (Lates calcarifer) in

Malaysia. Aquaculture

https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2020.735600

7. Koesharyani, I., A. Sunarto, K. Sugama. 2020. Deteksi Penyakit Scale
Drop Pada Ikan Kakap Putih Lates calcarifer Bloch. Jurnal Riset Akuakultur,
15 (3):195-204

8. Dangtip,S., J. Kampeera, R. Suvannakad, P. Khumwana, W. Jaroenram, M.
Sonthi, S. Senapin, W. Kiatpathomchai. 2019. Colorimetric detection of
scale drop disease virus in Asian sea bass using loop-mediated isothermal
amplification with xylenol orange. Aquaculture 510: 386–391







Most Popular

To Top