Nama lain:
Big belly, skinny pot belly, Pot Belly Disease (PBD)
Etiologi/ penyebab
Penyebab dari penyakit ini belum begitu jelas namun indikasinya berkaitan
erat dengan infeksi bakteri intraseluler, gram negatif, cocobasil. Berbagai
gambaran patologis dari sindrom ini mendekati dengan deskripsi dari
perubahan yang disebabkan oleh Edwardsiella ictaluri [1,2].
Hospes
Ikan kakap putih (Lates calcarifer) [1]. Ditemukan pada benih
kakap umur 25-50 hari [3]. Ikan dewasa (120gr) juga dapat terserang
penyakit ini [6]. Hingga saat ini, penyakit ini hanya ditemukan pada ikan
kakap putih saja [8].
Epizootiologi
Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Singapura pada tahun 2004. Penyakit
ini dapat menimbulkan kematian 80-100% [1]. Penyakit pot belly ini
juga ditemukan di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan
Malaysia [8]. Ikan kakap ukuran pembesaran berpotensi menjadi sumber
infeksi dari sindrom ini [2]. Kematian juga dapat terjadi pada ikan di
pembesaran, namun persentasenya tidak diketahui karena berbaur dengan
penyakit lainnya. Mode penularan penyakit pot belly ini belum
diketahui. Namun demikian kejadian pot belly lebih sedikit pada
kolam dengan kepadatan yang rendah [6]
Stadium rentan
Benih usia 3 minggu [1] namun bersifat persisten pada ikan ukuran
pembesaran. Penyakit ini dapat menimbulkan perubahan patologi pada ikan
pembesaran yang dipelihara di keramba [2]
Gejala Klinis
Ikan yang sakit memiliki gejala menghitam, emasiasi/ kurus, abdomen
membesar (oleh karenanya disebut pot belly), perlengketan organ
dalam, area anal merah dan bengkak dengan berkas feses menjuntai, otot
mengecil (atrofi) [1,3,5]. Dari perilaku, ikan menjadi lemah, memisahkan
diri dari kelompoknya, kehilangan keseimbangan (berenang di permukaan atau
berdiam di dasar) [8].
Perubahan patologi
Secara histopatologi teramati enteritis ulceratif dan nekrotik berat,
mengarah ke perforasi dan peritonitis dengan granuloma multifokal meluas
(granulomatous enteritis). Koloni bakteri cocobasil teramati di mukosa
usus. Lesi yang dihasilkan dari sindrom ini serupa dengan yang digambarkan
pada ESC (Enteric septicaemia of catfish), namun pada sidrom ini
tidak ditemukan lesi pada otak. Gambaran nekrosis dan granuloma pada
sindrom ini malah lebih menyerupai infeksi E. ictaluri pada ikan
patin [1]. Pada ikan yang lebih besar, terdapat enteritis granulomatosa
yang meluas. Hal ini dapat mengganggu kerja dari usus dan secara tidak
langsung mempengaruhi konversi pakan [2].
Metode Diagnosa
Diagnosa secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati bentuk ekor ikan
yang serupa tepi pisau (knife edge) disertai perut yang membesar
dan usus yang dipenuhi massa yang lengket. Pada preparat tekan jaringan
lemak organ dalam dan isi usus dapat teramati bakteri cocobasil bipolar
[8]. Isolasi bakteri yang berkaitan dengan penyakit ini sulit dilakukan
karena lokasinya di intraseluler dam membutuhkan media spesifik. Diagnosa
utama dilakukan dengan histopatologi [2,8]. Deteksi menggunakan PCR hingga
saat ini masih dalam tahap pengembangan [8].
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan dengan vaksinasi tidak dapat dilakukan. Penyaringan dan treatmen
air laut pada hathceri dapat membantu mencegah infeksi ini. Beberapa
pembudidaya berhasil menangani penyakit ini menggunakan antibiotik
florfenicol [2]. Perlakuan dengan memanipulasi suhu menjadi lebih tinggi
dinilai efektif mengatasi penyakit ini [7]. Pada studi yang dilakukan oleh
Fu et al (2014), Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) yang
teridentifikasi pada Leukocyte cell derived chemotaxin-2 (LECT2) ikan kakap
putih memiliki resistensi terhadap penyakit Big Belly ini. Temuan ini
penting agar kedepannya dapat digunakan sebagai seleksi genetik bagi ikan
yang resisten terhadap penyakit Big Belly [4].
Referensi
1. Gibson-Kueh, S., M. Crumlish, & H.W. Ferguson. 2004. A novel ‘skinny
pot-belly’ disease in Asian seabass fry, Lates calcarifer (Bloch). Journal
of Fish Diseases 27:731–735
2. Gibson-Kueh, S. 2015. Barramundi (or Asian Seabass)-Disease &
Management Strategies. WAVMA B-1005
3. Arifin, Z., C.R. Handayani, S.M. Astuti, N. Fahris. 2010. Waspadai
Penyakit pada Budidaya Ikan dan Udang Air Payau. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara: Jepara
4. Fu, G.H., Z.Y. Bai, J.H. Xia, X.J. Liu, F. Liu, Z.Y. Wan, G.H Yue. 2014.
Characterization of the LECT2 gene and its associations with resistance to
the big belly disease in Asian seabass. Fish & Shellfish Immunology
37:131-138
5. Fu GH, Bai ZY, Xia JH, Liu F, Liu P, et al. 2013. Analysis of Two
Lysozyme Genes and Antimicrobial Functions of Their Recombinant Proteins in
Asian Seabass . PLoS ONE 8(11): e79743. doi:10.1371/journal.pone.0079743
6. Gibson-Kueh, S. 2012. Diseases of Asian seabass (or barramundi), Lates
calcarifer Bloch. PhD thesis, Murdoch University.
7. Michel, A. 2020. Disease control by hyperthermia with non-lethal heat
shock. Aquaculture Asia Pacific Volume 16 number 2
8. Wendover, N. 2011. Important Diseases of Farmed Barramundi in Asia.
https://en.engormix.com/aquaculture/articles/barramundi-diseases-t34766.htm