BUDIDAYA

Outbreak Pada Budidaya Udang: Apa yang harus dilakukan?

          Pada budidaya udang, oubreak penyakit dapat dikatakan jika terdapat minimal 10 (bisa 20,30 bahkan 50) ekor udang yang mati atau sakit per harinya yang terlihat di tepi tambak dalam lima hari berturut-turut. Atau, terdapat keabnormalitasan pada udang yang mencapai >2% dari populasi. Kondisi ini dapat meningkat menjadi gawat darurat apabila kematian terjadi dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Pola kematian semacam ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan atau kesalahan manajemen. Apabila terdapat indikasi kematian disebabkan oleh penyakit, maka dibutuhkan peran dari petugas laboratorium atau pihak terkait. Petugas yang datang ke lokasi harus mendapatkan sejumlah informasi dan melakukan tindakan lapangan. Proses ini membutuhkan kerjasama dengan pembudidaya ataupun teknisi yang berada di lapangan.

       Pada tiap kejadian oubreak penyakit, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi kejadian dan keparahan penyakit. Beberapa kasus outbreak dapat disebabkan oleh patogen, sedangkan yang lainnya bersifat non infeksi. Outbreak yang disebabkan oleh agen patogen lebih rumit dalam penanganan maupun pencegahannya.
     Pembudidaya harus memiliki pengetahuan dasar bagaimana penyakit dapat muncul dalam budidaya. Ketidakseimbangan antara inang, lingkungan, dan kemunculan patogen dapat menimbulkan penyakit. Namun hal yang perlu dipahami adalah, ditemukannya patogen pada satu atau sejumlah udang tidak bermakna bahwa terdapat outbreak penyakit di lokasi tersebut. Masih ada faktor lingkungan yang berperan sebagai pemicu outbreak.
  Dalam melakukan budidaya udang terdapat waktu dimana pembudidaya harus meningkatkan kewaspadaan. Misalnya ketika teramati udang yang sakit, lemah, mati, dan berenang ke tepi. Atau pada saat terjadi perubahan cuaca (hujan dan panas) yang berkepanjangan juga pada saat terdapat perubahan warna air dan dasar tambak yang menghitam secara tiba-tiba. Apabila muncul hal-hal tersebut, maka pembudidaya harus mengambil tindakan cepat sedini mungkin. Tindakan ini bertujuan untuk menangani petakan yang bermasalah dan mencegah penyebaran ke petak yang bersebelahan. Adapun tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pengamatan klinis
Setiap kejadian outbreak selalu ditandai dengan gejala klinis seperti udang yang lemah, ke permukaan atau ke tepi tambak. Ketika hal ini terjadi, pengamatan pada udang yang sekarat ataupun mati secara seksama dibutuhkan untuk mengetahui lebih detail perubahan fisik udang. Adanya udang yang sakit/mati dapat menjadi sebuah indikasi bahwa udang dalam kondisi stress.

2. Periksa kembali data budidaya
Pada kasus kematian massal udang, informasi mendetail tentang budidaya udang sangatlah penting. Data pemantauan mengenai padat tebar, asal benih, manajemen budidaya, kualitas air harian, aplikasi bahan kimia, kondisi dasar tambak, kondisi kesehatan udang dapat memberikan arah kemungkinan penyebab dari penyakit. Hal ini juga akan sangat membantu mengetahui kondisi lingkungan budidaya secara dini dan mencegah makin buruk atau menyebarnya penyakit. Apabila terjadi keabnormalitasan pada air dan tanah, maka dapat diambil langkah untuk memperbaiki permasalahan ini. (lihat cara mellakukan manajemen kesehatan pada udang)

3. Perbaikan manajemen budidaya
Saat terjadi outbreak, praktek budidaya yang baik harus terlaksana. Periksa kembali kualitas air, pakan, dan hal-hal yang berkaitan dengan manajemen budidaya. Kualitas air harus dijaga dengan baik agar tetap berada pada nilai optimum. Hal ini berguna untuk mengurangi stress dan makin memburuknya kondisi kesehatan udang. Penggunaan kapur dapat dilakukan untuk menjaga pH diatas 7,5. Pakan juga harus dikurangi untuk menjaga agar kualitas air tetap optimal. Strategi perbaikan manajemen budidaya ini dikatakan berhasil jika diiringi perbaikan pada kesehatan pada udang.

4. Karantina
Langkah ini harus diambil secepat mungkin setelah muncul dugaan terjadinya outbreak. Tambak-tambak yang mengalami masalah harus segera dilakukan pembatasan. Hal ini bertujuan untuk menghindari menyebarnya penyakit pada petak tambak yang lain. Pemantauan sangat dibutuhkan agar kelompok udang yang sakit tidak menginfeksi udang yang sehat.

5. Pengelolaan air dan peralatan
Petak yang berada di sekitar petak tambak yang mengalami outbreak harus dicegah sebisa mungkin untuk tidak melakukan penggantian air. Seluruh saluran harus diperiksa agar tidak ada tanah dan air keluar dari tambak yang dikarantina. Peralatan budidaya seperti jaring, ember, pompa, sepatu boat, dll harus terpisah dan tidak digunakan bersama-sama. Cuci peralatan tersebut dengan bahan yang tidak menimbulkan karat seperti Chloramin T (halamid) sebanyak 2mg/L. Waspadalah untuk penggunaan kincir pada petak yang mengalami masalah. Putaran kincir yang cepat ditambah dengan hembusan angin berpotensi menerbangkan partikel air hingga 6 meter ke udara dan berpindah ke petak yang bersebelahan. Keseluruhan aktifitas ini bertujuan menekan resiko kontaminasi dari tambak yang terpapar penyakit.

6. Pembatasan mobilitas orang
Tindakan ini dilakukan seiring dengan karantina lokasi wabah. Akses di lokasi ini dibatasi untuk staf-staf tertentu saja. Setiap staf  yang keluar-masuk lokasi ini diwajibkan untuk melakukan sterilisasi, membersihkan kaki dan tangan dengan PK, etanol, atau larutan pembersih lainnya.

7. Pengambilan, penanganan, dan pengiriman sampel
Tahapan ini merupakan tahapan terpenting dalam diagnosa sebab sampel yang diambil harus merupakan sampel yang mengalami perubahan klinis. Sampel yang tepat akan mendukung diagnosa yang akurat sekaligus membantu menentukan penanganan secara cepat.  Apabila tersedia laboratorium, maka sampel yang diambil dapat langsung ditangani. Pemeriksaan sederhana dapat dilakukan oleh petugas. Sampel untuk pemeriksaan bakteri dapat langsung ditempatkan pada media. Sementara sampel pemeriksaan virus dan histopatologi dilakukan pengawetan. Jika sampel akan dibawa ke laboratorium, maka sampel harus disiapkan sedemikian rupa agar layak uji (lihat artikel pengambilan sampel ikan dan udang).

8. Pengobatan
     Tambak yang mengalami kasus penyakit atau kematian harus segera ditangani. Beberapa pembudidaya mengunakan antibiotik untuk penanganan penyakit udang. Berdasarkan survei, hanya sekitar 40% yang menyatakan cukup manjur. Sementara 60% lainnya menyatakan hasil yang bervariasi. Berdasarkan hasil survei tersebut, penggunaan antibiotik seharusnya menurun karena kekurangefektifannya. Contoh kasus pengalaman menggunakan antibiotik adalah pada outbreak AHPND (Acute hepatopancreatic Necrosis Disease) yang terjadi di Vietnam. Beberapa pembudidaya di sana pernah mencoba menggunakan beberapa jenis antibiotik dengan hasil yang bervariasi. Beberapa menyatakan bahwa kerugian ekonomi dapat ditekan sementara yang lainnya mendapat hasil yang tidak membantu sama sekali. Perbedaan efektifitas antibiotik saat outbreak ini harusnya menjadi pertimbangan sebelum pembudidaya memutuskan penggunaannya.
     Penggunaan antibiotik pada udang di banyak negara sangat dibatasi dengan aturan yang ketat. Di Indonesia sendiri, hanya sedikit sekali jenis antibiotik yang diizinkan untuk digunakan dalam budidaya. Oksitetrasiklin atau Terramycine, chloramphenicol, erythromycine, treptomycine, prefuran, dan neomycin biasa digunakan dalam budidaya udang. Namun di Indonesia, hanya 4 jenis antibiotik saja yang diperkenankan untuk digunakan yakni Tetrasiklin, Enrofloxacin, Eritromycine, dan Sulfadiazin. Pembatasan penggunaan antibiotik ini cukup beralasan sebab adanya dampak negatif seperti residu dan resistensi. Oleh karena itu pengganti antibiotik sangat dibutuhkan meskipun alternatif dari antibiotik sendiri masih menjadi sebuah pekerjaan rumah yang hingga saat ini masih berjalan.
     Perbaikan nutrisi pada saat outbreak bisa menjadi pilihan jika udang masih mau makan. Probiotik dan imunostimulan dapat ditambahkan melalui pakan untuk meningkatkan respon imun. Penggunaan probiotik diajukan sebagai pengganti antibiotik. Probiotik lebih banyak digunakan di belahan bumi bagian timur daripada barat. Meskipun keefektifannya bervariasi atau hanya 40-60% yang menyatakan cukup baik. Metode pengobatan lain yang sudah berkembang adalah phage therapi. Metode ini menggunakan virus yang disebut bacteriophage yang menginfeksi bakteri spesifik tanpa mengganggu bakteri yang menguntungkan.

9. Pemanenan
Dalam menghadapi outbreak, dapat diambil langkah pemanenan sebagian atau panen parsial. Langkah ini diambil apabila kondisi cukup mengkhawatirkan dengan tingkat keabnormalitasan udang mencapai >10% dari populasi. Langkah ini juga diambil apabila tindakan perbaikan, pencegahan, dan pengobatan selama 3 hari tidak memperlihatkan progres yang baik. Langkah pemanenan bertujuan untuk mengurangi padat tebar dan stress pada udang. Apabila kematian semakin meningkat, udang sudah tidak mau makan, tindakan pengobatan dan koreksi lingkungan budidaya sudah tidak mungkin dilakukan, maka panen total lebih awal menjadi pilihan terbaik. Hal ini merupakan langkah yang sangat tepat untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan kondisi yang makin memburuk. Pada pemanenan ketika terjadi outbreak, sangat disarankan menggunakan jala untuk menghindari terbuangnya air yang terkontaminasi ke sumber air dan sekitarnya.  

10. Eradikasi/ Pemusanahan
Udang yang sakit dan terinfeksi atau mati harus dieliminasi baik dengan pembakaran atau penguburan dengan kapur pada tanah yang jauh dari lokasi budidaya untuk menghindari penyebaran infeksi. Udang sakit atau mati yang dibiarkan di tambak beresiko dimakan oleh udang-udang lain yang masih sehat. Hal ini justru dapat membuka pintu penyebaran penyakit lebih cepat. Udang yang mati disebabkan oleh virus tidak boleh dibuang di laut atau ke dalam sistem resirkulasi. Hal ini berpotensi menyebarkan virus melalui air.

11. Pelaporan
Pada saat terjadi outbreak, pembudidaya memiliki tanggung jawab untuk memberi informasi mengenai adanya kematian massal, pemanenan, dan waktu pembuangan air. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit ke tambak lain. Setiap kejadian oubreak penyakit juga harus dilaporkan kepada pihak terkait. Baik penyakit yang bersifat serius ataupun tidak, pihak terkait dapat membantu memberikan diagnosa yang tepat sehingga langkah pengendalian yang efektif dapat dilakukan. Laporan yang masuk sekaligus membantu memantau sebaran penyakit di wilayah Indonesia. Pemerintah juga sudah membentuk Task Force nasional dan sistem tanggap darurat melalui emergency preparedness yang melibatkan banyak pihak.


Tindakan Pasca Outbreak

A. Perlakuan pada wadah dan media budidaya

– Flushing
Setelah panen, tambak yang mengalami kasus kematian harus dikeringkan dan airnya harus dibuang. Air petakan ini tidak boleh dibuang langsung ke perairan umum atau diresirkulasi. Sebelum dilakukan pembuangan, air terlebih dahulu diberi perlakuan dengan kalsium hipoklorit lalu didiamkan selama 5-7 hari atau dengan kaporit 40ppm (bila air keruh) atau 30ppm (bila air mengendap).
– Disinfeksi
Apabila outbreak penyakit diduga kuat disebabkan oleh virus, maka tidakan yang paling tepat adalah melakukan karantina, mengeliminasi karier (jika ada) dan udang yang terinfeksi.  Pada hathceri, jika virus sudah muncul di tempat budidaya maka seluruh aktifitas harus dihentikan. Semua fasilitas yang terkontaminasi harus didisinfeksi sebelum melakukan budidaya kembali.
– Pengolahan tambak
Pasca outbreak, dasar tambak harus dilakukan pembalikan, untuk mengurangi sisa-sisa pakan, kotoran, dan memperbaiki pematang. Tambak lalu dicuci 3-4 kali. Setelah itu tambak dikeringkan. Proses ini dilakukan hingga tambak retak-retak, tanah kemudian dikupas dan dibalik dengan tujuan menguraikan bahan organik, menghilangkan gas beracun, dan membasmi ikan liar. Lama pengeringan 1-2 minggu, bergantung cuaca. Dan yang terakhir adalah pemberian kapur (CaCO3) 1-2 ton/Ha untuk menaikkan pH tanah.

B. Evaluasi manajemen budidaya
Langkah ini meliputi perubahan strategi dan metode budidaya untuk musim tanam selanjutnya. Misalnya, dengan menggunakan metode budidaya terkini seperti bioflok. Polikultur juga dapat menjadi pilihan sebab sudah terbukti dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit. Standar operasional yang diterapkan harus dievaluasi untuk hal-hal yang harus dirubah atau ditingkatkan. Evaluasi juga performa staf di bagian manajemen dan lapangan sebab keberhasilan budidaya ditentukan oleh kepiawaian mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada. Bila perlu, berikan pelatihan untuk meningkatkan keahliannya. 

C. Perbaikan biosekuriti
Dengan melakukan evaluasi manajemen budidaya, seharusnya pembudidaya dapat mengambil langkah untuk memperbaiki hal-hal yang menjadi celah bagi masuknya patogen. Hal ii sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi permasalahan serupa. Bila perlu program-program biosekuriti ditinjau kembali kesesuaian penerapannya.

D. Pembuatan SOP
Standar Operational Procedure (SOP)  menjadi bagian penting untuk deteksi dini dan merespon outbreak. Dokumen ini dapat disiapkan oleh para ahli, pemerintah, dan pihak terkait dengan mengadopsi SOP yang telah ada, teknologi terbaru dan rekomendasi regional/internasional. SOP sebaiknya dibuat seringkas mungkin agar mudah dipahami dan diaplikasikan.

Referensi

Alavandi, S.V., Vijayan, K.K., Rajendran, K.V. 1995. Shrimp Disease, Their Prevention and Control. Central Institute of Brackishwater Aquaculture: Madras

Jithendran, K.P. dan Praveena, P.E. 2012. Clinical Approach To Disease Diagnosis And Current Status Of Diseases In Litopenaeus Vannamei Farms In India. Dalam Otta, S.K. dan Patil, P.K. 2012. Training Programme On Management Of Emerging Diseases Of Shrimp With Special Reference To Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vanname. Aquatic Animal Health And Environment Division Central Institute Of Brackishwater Aquaculture: Chennai

Department of Primart Industries and Fisheries. 2006. Australian Prawn Farming Manual” Health Management for profit. Queensland Complete Printing Services: Queensland

Direktorat Produksi. 2014. Petunjuk Teknis budidaya udang baname semi intensif. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya: Jakarta

Global Aquaculture Alliance. 2006. Operating Procedures for Shrimp Farming. Global Aquaculture Alliance: Missouri, USA

Hastuti, M. S., Desrina, & Maskur. (2019). Emergency preparedness and response system in Indonesia. In E. A. Tendencia, L. D. de la Peña, & J. M. V. de la Cruz (Eds.), Aquatic Emergency Preparedness and Response Systems for Effective Management of Transboundary Disease Outbreaks in Southeast Asia: Proceedings of Asean Regional Technical Consultation, 20-22 August 2018, Centara Grand Central Ladprao, Bangkok, Thailand (pp. 12-21). Tigbauan, Iloilo, Philippines: Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center. 

Main, K.L dan Laramore, R. 2005. Shrimp Health Management. Dalam Costa-Pierce,B., A. Desbonnet., P. Edwards, D. Baker. Urban Aquaculture.2005. CAB Publishing: UK

MPEDA/NACA. 2003. Shrimp Health Management Extension Manual. Prepared by the Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA) and Marine Products Export Development Authority (MPEDA), India, in cooperation with the Aquatic Animal Health Research Institute, Bangkok, Thailand; Siam Natural Resources Ltd., Bangkok, Thailand; and AusVet Animal Health Services, Australia. Published by the MPEDA, Cochin, India.

Samocha, T.M. 2019. Sustainable Biofloc Systems For Marine Shrimp. Academic Press: UK

Supriyadi, H., & Rukyani, A. (2000). The use of chemicals in aquaculture in Indonesia. In J. R. Arthur, C. R. Lavilla-Pitogo, & R. P. Subasinghe (Eds.), Use of Chemicals in Aquaculture in Asia: Proceedings of the Meeting on the Use of Chemicals in Aquaculture in Asia, 20-22 May 1996, Tigbauan, Iloilo, Philippines (pp. 113-118). Tigbauan, Iloilo, Philippines: Aquaculture Department, Southeast Asian Fisheries Development Center.

World Bank Group. 2014. REDUCING DISEASE RISK IN AQUACULTURE. AGRICULTURE AND ENVIRONMENTAL SERVICES DISCUSSION PAPER 09

Most Popular

To Top