Diagnosa merupakan suatu aspek penting dalam manajemen kesehatan udang. Diagnosa sangat membantu untuk mengetahui adanya penyakit. Diagnosa dapat dilakukan dengan metode yang sederhana hingga kompleks. Diagnosa yang tepat akan menjadi acuan dalam pengendalian penyakit. Metode cepat dan sederhana dapat digunakan membantu diagnosa penyakit udang diantaranya: pewarnaan, ulas haemolim, squash, pemeriksaan insang dan hepatopankreas. Metode-metode ini dapat dilakukan pada tempat yang memiiki peralatan mikroskop.
Secara umum, diagnosa dapat terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Diagnosa presumtif
Diagnosa ini adalah diagnosa yang didasarkan pada pengamatan klinis di lapangan
b.Diagnosa definitif/ konfirmatori
Pada diagnosa ini agen patogen penyebab penyakit dapat ditentukan secara akurat melalui laboratorium
FAO (2001) dalam publikasinya Asia Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases, membagi diagnosa pada penyakit budidaya menjadi tiga level.
LEVEL I
Pada level ini, diagnosa hanya didasarkan pada pengamatan di lapangan dan data-data budidaya. Meskipun sederhana, namun informasi yang diperoleh dari diagnosa level ini menjadi dasar pengambilan keputusan awal untuk melakukan diagnosa lanjutan (level 2 dan 3). Pengamatan lesi-lesi makroskopis internal eksternal dan nekropsi dilakukan pada tahap ini. Pada prinsipnya hampir tidak mungkin mendiagnosis penyakit udang hanya didasarkan terhadap tingkah laku dan gejala klinis semata. Gejala klinis hanyalah indikator yang memungkinkan kita untuk menduga permasalahan yang sedang terjadi. Di luar itu diperlukan informasi pendukung, antara lain:
- Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku seperti udang menunjukkan peningkatan nafsu makan kemudian diikuti dengan kehilangan nafsu makan. Perubahan tingkah laku antara lain: mendekat ke aliran air masuk atau permukaan air, menyendiri, mengarah ke pematang tambak dan berenang abnormal.
- Pengamatan kondisi fisik udang. Kegiatan ini dapat dilakukan di petak tambak atau udang ditempatkan dalam wadah agar lebih mudah mengamati perubahan tubuh udang. .
- Pengamatan benih: Mengamati respon benur terhadap respon cahaya, feses, perilaku, dan uji stress.
- Pengamatan perubahan kualitas air, terutama terhadap parameter kunci seperti suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas, alkalinitas, kesadahan, ammonia dan nitrit.
- Pemeriksan rekaman budidaya yang memuat data-data budidaya dan kesehatan udang
Pada diagnosa ini, apabila harus dilakukan diagnosa lanjutan, maka dibutuhkan pengambilan dan penanganan sampel untuk dibawa ke laboratorium. Di hathceri, pemeriksaan di level ini dapat membantu menyeleksi benih tanpa perlu melakukan pemeriksaan lebih detil.
Gambar. Diagnosa penyakit udang di tingkat lapangan (Otta et al., 2017)
LEVEL II
Pada diagnosa level ini, dibutuhkan spesialisasi bidang ilmu tertentu, diantaranya:
– Pemeriksaan mikroskopis
Meliputi pengamatan sederhana dengan mikroskop menggunakan metode wet mount dengan atau tanpa pewarnaan.
– Parasitologi
– Mikologi
– Histopatologi.
Pada udang, metode histopatologi banyak digunakan untuk mendeteksi penyakit virus. Metode ini dapat digunakan sebagai metode rutin untuk memantau kesehatan udang. Dan yang paling penting adalah metode ini dapat membantu konfirmasi serta skrining pada program pencegahan penyakit tertentu.
– Mikrobiologi
Metode ini digunakan untuk mendeteksi patogen bakteri. Pada benur, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk melihat flora bakteri pada udang sehat maupun sakit.
Diagnosa level II ini, pada hatcheri juga sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Peralatan sederhana seperti mikroskop dan pengujian rutin bakteriologi banyak mendukung manajemen budidaya di hatcheri. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan ini digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan.
LEVEL III
Diagnosa pada tahap ini merupakan area yang sangat spesifik yang membutuhkan spesialisasi, pelatihan, dan pembiayaan. Diagnosa ini meliputi:
– Mikroskop elektron.
– Virologi
– DNA probes.
Pada metode ini, pelabelan non radioaktif Digoxigenin (DIG) DNA probe digunakan pada dot blot, in situ hibridisasi, dan southern blot hibridisasi untuk mendeteksi berbagai virus pada udang.
– Imunologi
Contoh dari metode yang berbasis imunologi antara lain enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), agglutination (slide/ latex), fluorescent antibody test (FAT/IFAT), dan blot (dot-blot/dip-stick/western blot). Pada metode ini, patogen dapat dideteksi secara cepat tanpa melakukan isolasi terlebih dahulu. Metode ini sulit berkembang bila dibandingkan dengan PCR karena kurang tersedianya antigen murni untuk melakukan prosedurnya.
– Polymerase Chain Reaction (PCR).
Metode ini sangat luas digunakan sebagai metode cepat untuk mendeteksi penyakit udang secara dini. Tidak hanya untuk sampel udang, PCR juga dapat membantu mendeteksi keberadaan patogen dalam air, karier, dan sedimen. Kekurangan metode ini adalah setiap sampel hanya dapat diujikan untuk satu sampai dua patogen saja.
– LAMP (Loop Mediated Isothermal Amplification)
Metode ini merupakan bagian dari metode molekuler dimana amplifikasi asam nukleatnya menggunakan inkubasi suhu tunggal.
Dari ketiga diagnosa tersebut, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah pengoptimalan keefektifan diagnosa. Berilah ruang bagi diagnosa level I agar dapat mendukung diagnosa level II dan III. Dari sini hal yang perlu dipahami adalah tidak semua penyakit udang memperlihatkan gejala klinis kecuali jika terdapat kematian secara tiba-tiba. Hal ini menjadi kendala untuk mengidentifikasi penyebabnya. Oleh karena itu, pengamatan terhadap udang (diagnosa level I ) menjadi penting dan mengambil peran dalam pencegahan penyakit. Pertimbangkan juga biaya yang harus dikeluarkan. Diagnosa level II memiliki sedikit kaitan dengan kondisi lapangan. Oleh karenanya dibutuhkan adanya hubungan timbal balik sehingga investigasi penyakit menjadi lebih relevan dengan situasi yang terjadi di lapangan.
Diagnosa penyakit udang secara umum dapat diambil berdasarkan anamnesa, pengamatan klinis, pemeriksaan mikroskopis, pengamatan post mortem, histopatologi, bioassay, mikroskop elektron, uji antibodi, dan metode molekuler. Pada paparan Flegel (2006) yang dipublikasikan melalui Global Aquaculture Alliance, didapati bahwa 90% pembudidaya di belahan bumi barat dan timur menggunakan metode pangamatan langsung dan 80-95% dengan pemeriksaan mikroskopis dan mempercayai hasilnya. Penggunaan metode pewarnaan hanya 50-60% dan histopatologi lebih banyak digunakan di belahan bumi bagian barat.
Setiap metode diagnosa memiliki kekurangan dan kelebihan. Publikasi dari Global Aquaculture Alliance (2006) menyebutkan bahwa metode molekular dan imunologi paling banyak digunakan karena kecepatan, spesifitas dan sensitifitasnya. Meskipun demikian, metode diagnosa tersebut membutuhkan tenaga dan biaya yang lebih banyak. Sementara pemeriksaan histopatologi meskipun metode ini tidak spesifik, namun masih menjadi metode paling ideal untuk menginterpretasikan suatu penyakit secara presisi, terutama pada penyakit yang belum diketahui. Pengujian berbasis imunologi meskipun memiliki keterbatasan namun metode inilah yang banyak dikembangkan sebagai kit uji cepat di tingkat lapangan (Level I) seperti kit imunokromatografi.
Walaupun di masa kini industri perudangan memiliki banyak pilihan metode diagnosa, namun ada baiknya tidak merasa terlalu percaya diri dengan bersandar hanya pada satu metode saja. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa setiap metode batas sensitifitas dan spesifitas. Tidak ada metode yang bisa menjamin 100% akurat dan tepat, meskipun metode tersebut menjadi gold standar dari pengujian. Benih yang diujikan bebas WSSV pun masih bisa terkena penyakit ini dalam masa pemeliharaannya. Hasil uji yang negatif juga masih bisa bermakna keterbatasan sensitifitas atau kegagalan protokol sampling sehingga sampel yang teruji adalah sampel dengan prevalensi penyakit yang rendah. Oleh karena itu dibutuhkan adanya “ring test” untuk memverifikasi kontrol kualitas pengujian.
Referensi
Anonim. Brosur hama Penyakit Ikan.
Bondad-Reantaso, M.G., McGladdery, S.E., East, I., and Subasinghe, R.P. (eds.) Asia Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases. FAO Fisheries Technical Paper No. 402, Supplement 2. Rome, FAO. 2001. 240 p.
Borichangar, R.V. 2008. Study Of Tiger Shrimp (Penaeus Monodon, Fabricius, 1798) Culture: Pond Design, Operation And Management In Diu. Thesis Bhavnagar University, Bhavnagar
P. Balasubramanian, Shyne Anand, Kannappan S and Biju I. F. Training manual onrecent advances in farming of pacific white shrimp (Penaeus vannamei), Training manualseries, no-14, 2018, 126 pp.
FAO. 2007. Improving Penaeus monodon hatchery practices. Manual based on experience in India. FAO Fisheries Technical Paper. No. 446. Rome, FAO. 101p
Felix, S. 2013. Advances In Shrimp Aquaculture Management. Daya Publishing house: New Delhi
Global Aquaculture Alliance. 2006. Operating Procedures for Shrimp Farming. Global Aquaculture Alliance: Missouri, USA
Jithendran, K.P. dan Praveena, P.E. 2012. Clinical Approach To Disease Diagnosis And Current Status Of Diseases In Litopenaeus Vannamei Farms In India. Dalam Otta, S.K. dan Patil, P.K. 2012. Training Programme On Management Of Emerging Diseases Of Shrimp With Special Reference To Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vanname. Aquatic Animal Health And Environment Division Central Institute Of Brackishwater Aquaculture: Chennai
Lightner, D. V. (2002). Advances in diagnosis and management of shrimp virus diseases in the Americas. In Y. Inui & E. R. Cruz-Lacierda (Eds.), Disease Control in Fish and Shrimp Aquaculture in Southeast Asia – Diagnosis and Husbandry Techniques: Proceedings of the SEAFDEC-OIE Seminar-Workshop on Disease Control in Fish and Shrimp Aquaculture in Southeast Asia – Diagnosis and Husbandry Techniques, 4-6 December 2001, Iloilo City, Philippines (pp. 7-33). Tigbauan, Iloilo, Philippines: SEAFDEC Aquaculture Department.
Otta, S.K., S.V. Alavandi, K.K. Vijayan. 2017. Field Guide for Diagnosis, Prevention, and Control of Disease of Shrimp and Finfish in Brackish water Aquaculture. Central Institute of Brackishwater Aquaculture, 38pp
Rai, P. dan Karunasagar, I. 2012. Molecular Techniques For The Detection Of Major Viral Pathogens Of Litopenaeus Vannamei. Dalam Otta, S.K. dan Patil, P.K. 2012. Training Programme On Management Of Emerging Diseases Of Shrimp With Special Reference To Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vanname. Aquatic Animal Health And Environment Division Central Institute Of Brackishwater Aquaculture: Chennai
Raja, R.A., T. Bhuvaneswari, S. Kumar. 2012. Common Bacterial And Viral Diseases Of Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vannamei. dalam Otta, S.K. dan Patil, P.K. 2012. Training Programme On Management Of Emerging Diseases Of Shrimp With Special Reference To Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vanname. Aquatic Animal Health And Environment Division Central Institute Of Brackishwater Aquaculture: Chennai